Minggu, 06 Oktober 2013

MENEGAKKAN HUKUM YANG BERKEADILAN


Hukum modern yang dipakai oleh bangsa kita dikembangkan tidak dari dalam masyarakat Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar (immposed from outside). Hukum modern adalah produk sosial, ekonomi dan kultural barat, khususnya Eropa. Maka sebetulnya cerita tentang sejarah kelahiran hukum modern adalah cerita tentang sejarah sosial Eropa.[1] Hukum modern memiliki tipe Liberal. Dalam tipe liberal, tidak hanya hukum substantif yang penting, melainkan juga prosedur. Prosedur menjadi penting dan memiliki arti tersendiri, oleh karena dibutuhkan untuk menjaga dan mengamankan kebebasan individu. Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tak dapat dipisahkan dari kehadiran negara modern.[2] Ciri khas dari aliran positivisme pada hukum modern ini bertitik temu pada formalitas.
Dalam pelaksanaannya kita sering mengalami banyak kegagalan dalam menghukum para pelaku kejahatan karena hambatan dalam setelan-setelan liberal tersebut. Pilihan sekarang apakah kita tetap akan membiarkan “prantik liberal” berjalan terus, ataukah beralih ke sesuatu yang lain. Pada waktu publik di Amerika banyak terpukul oleh pembebasan O.J. Simpson dari dakwaan pembunuhan mantan isterinya (1993), seorang pengamat hanya mengangkat pundak dengan mengatakan, “ ya, apa boleh buat, itulah ongkos yang harus kita keluarkan karena sepakat untuk memakai sistem yang liberal.”.[3] Kita tidak bisa menyalahkan para penegak hukum, oleh karena setelan-setelan pikiran mereka memang liberal dan hal tersebut sudah ditanamkan sejak mereka duduk di bangku kuliah umumnya fakultas hukum. Maka apabila ingin ditempuh cara baru dalam pemberantasan tindak kejahatan termasuk korupsi, maka perlu dilacak sampai ke dunia pendidikan hukum.[4]
Dalam sosiologi hukum dijelaskan bahwa hukum itu adalah instrument yang bisa dipakai dan dipakai oleh pihak yang menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Sebagai contoh geng bandit besar Al Capone di tahin 1930-an pun mempunyai bagian hukum sendiri. Hal ini berarti bahwa kejahatan pun ingin dilakukan dengan memperhatikan rambu-rambu hukum, atau “melakukan kejahatan dengan dipandu oleh hukum”. Sejak kita memutuskan menggunakan hukum modern, kita tak dapat menghindar dari praktik penggunaan hukum seperti itu. Yang kita dapat lakukan adalah bersikap lebih waspada dalam bernegara hukum ini, oleh karena ternyata bahwa hukum itu tidak hanya dapat dipakai sebagai sarana untuk keadilan, tetapi dapat juga untuk tujuan dan kepentingan lain.[5]
Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Persoalan keadilan bukan merupakan persolan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri.[6]
Dalam berhukum tentunya harus selalu dikedepankan aspek keadilan. Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek sosiologis dalam kehidupan masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat entah bagaimana bentuknya. Tidak seharusnya keadila itu bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat dan menggali keadilan itu. Maka dari itu sungguh disayangkan apabila penegakan keadilan terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan produk politik manusia. Suatu peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adil lah yang mampu menafsirkan hukum yang berkeadilan.
Pada setiap masyarakat ada sebuah hukum universal bahwa keadilan merupakan sifat yang harus selalu melekat pada setiap pemerintahan jika ingin kelangsungan kekuasaan terus berlanjut. Setiap pemerintahan akan selalu mendapatkan tuntutan untuk mampu menjadi representasi kepentingan segenap rakyatnya. Oleh karena itu setiap pemerintahan harus mampu menerapkan system pengaturan masyarakat yang menganut prinsip keadilan. Jika suatu pemerintahan justru menjalankan suatu orde yang membuat mayoritas rakyatnya merasa diposisikan secara tidak adil, maka bisa dipastikan orde pemerintahan tersebut tidak akan berlangsung lama.[7]
Tanpa keadilan maka kemakmuran yang dicita-citakan suatu bangsa juga bisa dipastikan akan semakin jauh dari pencapaian. Bahkan kemakmuran yang sudah mulai terbina akan segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta kemakmuran itu hanya terpusat pada segelintir orang saja. [8]
pink


[1] Satjipto Rahardjo.2009.Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing, hlm.138
[2] Satjipto Raharjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, Makalah pada Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi, ODIH, UNDIP. Semarang, 22 Juli 2000. hlm. 4
[3] Satjipto Rahardjo.2009.Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing . Op. Cit hlm. 140 -141
[4] Ibid
[5] Satjipto Rahardjo.2009. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta : Kompas hlm.170-171
[6] Peter Mahmud Marzuki.2008.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Hlm. 23
[7] A. Malik Madaniy.2010.Politik Berpayung Fiqh.Yogyakarta:Pustaka Pesantren. hlm. 33
[8] Ibid. hlm. 34

sumber- sumber hukum internasional

Sumber-sumber hukum internasional menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional terdiri atas :
1. Perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa.
2. Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum.
3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum.

Ad 1. Perjanjian Internasional
ialah perjanjian yang diadakan anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat tertentu. Perjanjian ini harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Istilah lain untuk perjanjian internasional antara lain : traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, declaration, protocol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant dsb. Dewasa ini hukum internasional cenderung mengatur hukum perjanjian internasional antara organisasi internasional dengan organisasi internasional atau antara organisasi internasional dengan subjek hukum internasional secara tersendiri. Hal ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari organisasi internasional di lapangan ini. Berdasarkan praktik beberapa negara kita dapat membedakan perjanjian internasional itu ke dalam beberapa golongan. Pada satu pihak terdapat perjanjan internasional yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan yaitu perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Di pihak lain perjanjian internasional ada yang hanya melalui dua tahap yakni perundingan dan penandatanganan. Biasanya perjanjian golongan pertama diadakan untuk hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power), sedangkan perjanjian golongan kedua yang lebih sederhana sifatnya diadakan untuk perjanjian yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat. Mengenai klasifikasi perjanjian internasional terdapat beberapa penggolongan. Penggolongan yang pertama ialah perbedaan perjanjian internasional dalam dua golongan yakni perjanjian multilateral dan bilateral. Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak contohnya perjanjian antara Republik Indonesia dengan RRC mengenai masalah dwikewarganegaraan sedangkan multilateral artinya perjanjian antara banyak pihak misalnya Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang. Penggolongan lain yang lebih penting dalam pembahasan hukum internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan perjanjian dalam treaty contract dan law making treaties. Dengan treaty contract dimaksudkan perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian hukum perdata yang haya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu. Dengan law making treaties dimaksudkan perjanjian yang meletakan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Perbedaan antara treaty contract dan law making treaties jelas nampak bila dilihat dari pihak yang tidak turut serta dalam perundingan yang melahirkan perjanjian tersebut. Pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty contract. Pada law making treaties selalu terbuka bagi pihak lain yang semula tidak turut serta dalam perjanjian karena yang diatur dalam perjanjian itu merupakan masalah umum yang mengenai semua anggota masyarakat. Apabila ditinjau secara yuridis maka menurut bentuknya setiap perjanjian baik treaty contract maupun law making treaties adalah suatu contract yaitu suatu perjanjian atau persetujuan antara pihak yang mengadakannya dan yang mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban bagi para pesertanya.

Ad 2. Kebiasaan Internasional
Hukum kebiasaan internasional ialah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Perlu diketahui bahwasannya tidak semua kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum. Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
1. harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum (material)
2. kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum (psikologis)
Sebagai suatu sumber hukum kebiasaan internasional tidak berdiri sendiri. Kebiasaan internasional erat hubungannya dengan perjanjian internasional dimana hubungan ini adalah hubungan timbal balik. Perjanjian internasional yang berulang kali diadakan mengenai hal yang sama dapat menimbulkan suatu kebiasaan dan menciptakan lembaga hukum.

Ad 3. Prinsip hukum umum
Asas hukum umum ialah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern yaitu sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum Romawi. Menurut Pasal 38 ayat (1) asas hukum umum merupakan suatu sumber hukum formal utama yang berdiri sendiri di samping kedua sumber hukum yang telah disebut di muka yaitu perjanjian internasional dan kebiasaan. Adanya asas hukum umum sebagai sumber hukum primer tersendiri sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Pertama dengan adanya sumber hukum ini mahkamah tidak dapat menyatakan “non liquet” yakni menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur persoalan yang diajukan. Berhubungan erat dengan ini ialah bahwa kedudukan mahkamah internasional sebagai badan yang membentuk dan menemukan hukum baru diperkuat dengan adanya sumber hukum ini. Keleluasaan bergerak yang diberikan oleh sumber hukum ini kepada mahkamah dalam membentuk hukum baru sangat berfaedah bagi perkembangan hukum internasional.

Ad 4.Sumber hukum tambahan : keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana terkemuka di dunia.
Lain dengan sumber utama yang telah dijelaskan di atas, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hanya merupakan sumber subsider atau sumber tambahan. Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber hukum primer. Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum. Keputusan Mahkamah Internasional sendiri tidak mengikat selain bagi perkara yang bersangkutan, maka “a fortion” keputusan pengadilan lainnya tidak mungkin mempunyai keputusan yang mengikat. Walaupun keputusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat namun keputusan pengadilan internasional, terutama Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice), Mahkamah Internasional (Iternational Court of Justice), Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court Arbtration) mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hukum intersional. Mengenai sumber hukum tambahan yang kedua yaitu ajaran para sarjana hukum terkemuka dapat dikatakan bahwa penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh sarjana terkemuka sering dapat dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk menemukan apa yang menjadi hukum internasional walaupun ajaran para sarjana itu sendiri tidak menimbulkan hukum.


Referensi : Pengantar Hukum Internasional Buku I-Bagian Umum
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H. , LLM.
Penerbit : Putra A Bardin, Bandung